Pengembangan Tata Formasi dan Iklim Hubungan Konseling Awal

MAKALAH
Pengembangan Tata Formasi dan Iklim Hubungan Konseling Awal




OLEH:
PUTRI LUTIANA
A1L014055

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2014/2015






Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam menuju ke pendidikan yang baik demi masa depan bangsa.
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini penulis akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang penulis miliki sangat kurang. Oleh kerena itu penulis harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Terima Kasih...



Bengkulu, 7 Oktober 2015


Penulis













                                                                          BAB I
                                                               PENDAHULUAN

Kontak pertama antara konselor dan klien umumnya akan mempengaruhi kelangsungan pertemuan dan hubungan selanjutnya serta tercapai tidaknya tujuan konseling. Karena itu, hubungan yang akrab antara konselor dan klien harus ditumbuhkan dan dibina terus baik dalam pertemuan awal maupun dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Klien datang ke konselor atas kemauan sendiri atau dikirim oleh orang lain ataupun konselor sendiri yang menginginkan agar klien datang kepadanya, umumnya diliputi oleh keragu-raguan dan kecemasan serta mungkin pula takut apakah ia bebas mengemukakan perasaan-perasaan atau masalah-masalah. Klien bertanya-tanya dalam dirinya apakah ia diterima dengan baik oleh konselor, apakah ia dapat mempercayai konselor, apakah rahasia-rahasianya tidak dibocorkan pada orang lain, apakah hubungan dengan konselor dapat dibina dan memuaskan, dapatkah konselor membantunya, dan sebagainya. Kalau perasaan-perasaan dan keraguan tersebut tidak segera dapat dihilangkan akan dapat mengganggu hubungan konselor dan klien. Mungkin klien menjadi takut dan memutuskan diri untuk tidak meneruskan hubungan konseling. Kalaupun hubungan konseling itu berlanjut mungkin klien tidak “involve” dengan penuh dan bahkan bisa pula defensif atau sebaliknya menjadi pasif, dan tertutup. Ketidakterbukaan dan kurangnya kepercayaan klien kepada konselor itu dapat menghambat klien dalam mengeksplorasi dirinya sendiri dan situasi masalah yang dihadapinya. Jika keadaan ini terus berlanjut maka gagallah pencapaian tujuan konseling.
Untuk itu konselor harus bisa membangun hubungan baik dengan klien, sehingga klien ma “involve”, terbuka, dan aktif selama proses konseling. Monro, dkk. (1979) menyarankan agar konselor bersikap empatis, menghargai, dan peka. Hal ini karena klien mempunyai keinginan untuk merasakan bahwa konselor mampu melihat keadaan yang dihadapi klien sebagaimana klien itu melihatnya dan dapat ikut merasakan perasaan yang dialami klien, serta dapat menerima sebagaimana adanya kerangka berfikir klien. Klien akan mereaksi secara positif terhadap tindakan konselor yang bersahabat, bersikap membantu, dan penuh pertimbangan yang matang. Carkhuff (1983) menyarankan agar konselor mempunyai keterampilan melayani (attending sklills) yang diselenggarakan atau berlangsung dalam konteks atau kondisi-kondisi inti itu meliputi empati, penghargaan, dan kekonkritan. Dengan keterampilan melayani yang berlangsng dalam kondisi inti itu akan memungkinkan klien “involve” dalam proses konseling yang sedang diberikan dan benar-benar memperhatikan dan memanfaatkan konseling yang sedang berlangsung itu.
Keterampilan melayani itu meliputi (a) penyiapan klien, konteks, dan diri konselor sendiri, (b) memperhatikan klien secara pribadi, dan (c) mengobservasikan dan mendengarkan.
Cormier dan cormier (1985) mengemukakan suatu prosedur yang dinamakan penstrukturan langsung untuk menghilangkan perasaan ragu-ragu klien dan untuk menimbulkan persamaan persepsi antara konselor dan klien. Dengan penstrukturan itu diharapkan diperoleh persepsi yang sama tentang peranan konselor dan klien selama proses konseling, tujuan yang ingin dicapai etika yang harus dipedomani, serta jumlah dan lamanya pertemuan konseling. Kesamaan persepsi yang dicapai akan merpakan kondisi bagi keterbukaan dan terciptanya hubungan yang baik dalam proses konseling.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana cara mengembangkan keterampilan dalam tata format dan iklim hubungan konseling awal?
1.3 Tujuan
Mengetahui tentang pengembangan tata formasi dan iklim hubungan konseling awal.











Bertolak dari pendapat Monro, dkk. (1979), Carkhuff (1983), dan Cormier dan Cormier (1985) maka dalam bab ini akan dipelajari berbagai prosedur dan keterampilan yang diperlukan dalam mengembangkan tata formasi dan iklim hubungan konseling awal yang baik meliputi:
1.      Menyiapkan kondisi fisik ruangan konseling posisi tempat duduk, jarak dan sekap duduk konselor dan klien.
2.      Menyiapkan mental klien dan konselor untuk memulai hubungan konseling.
3.      Menerima klien secara akrab dengan berbagai cara seperti: melayani klien secara pribadi, mengobservasi dan mendengarkan secara baik, dan memciptakan hubungan baik (rapport)
4.      Melaksanakan penstrukturan.

Keterampilan menyiapakan konteks atau kondisi fisik ruangan konseling yang memungkinkan klien merasa aman, tentang, relaks, dan senang sangat diperlukan bagi seorang konselor yang profesional. Pertanyaan-pertanyaan berikut ini hendaknya dipertimbangkan dalam menyiapakan konteks. Apakah konseling dilakukan dalam suasana hubungan empat mata atau “face to face” ? apakah sifdat hubungan itu tidak resmi? Adakah keadaan ruang konseling itu bebas dari suara-suara yang mengganggu? Adakah keadaan ruangan itu cukup menyenangkan? Apakah tempat duduknya enak dan diletakkan dalam posisi yang tepat? Dan masih banyak lagi pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan dalam menyiapakan konteks ini.. dengan demikian penyiapan konteks ruangan konseling meliputi pengaturan dekorasi ruangan, pengaturan tempat duduk, dan pengaturan jarak tempat duduk konselor dan klien, letak tempat duduk klien, dan ruang konseling.
Dekorasi ruangan konseling hendaknya memungkinkan klien dapat mengenalinya dan dipilih dekorasi yang klien sudah familiar dengannya. Misalnya, jika klien seorang mahasiswa maka dekorasi yang dipilih hendaknya berupa gambar buku, foto kampus, gambar ruang kuliah, gambar toga, atau foto seorang wisudawan/wisudawati. Gambar benda-benda atau situasi tersebut telah dikenal secara baik oleh klien dan mengenakkan ataub menyenangkannya. Dalam ruangan yang didekor seperti itu klien akan merasa senang, kerasan, dan enak. Dalam suasana perasaan seperti itu klien akan terlibat (involve) secara penuh dalam proses konseling.
Pengaturan tempat duduk hendaknya memungkinkan klien dapat berkomunikasi secara terbuka. Untuk itu konselor dan klien hendaknya duduk di kursi, berhadap-hadapan satu sama lain tampa meja atau bangku yang menghalang-halangi klien dan konselor. Tempat duduk klien dan konselor yang terhalang oelh meja dapat membawa ke suasana hubungan yang terlalu formal seperti yang umumnya dikerjakan oleh seorang direktur cenderung aktif sedangkan stafnya cenderung pasif dan tidak banyak kata lagi segera pergi melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. Ini bukan berarti bahwa jika tempat duduk konselor dan klien itu tidak terbatas. Hubungan konselor dan klien dalam banyak hal masih terbatas. Keterbatasan hubungan antara konselor dan klien itu diatur dalam kode etik konseling. Ketiadaan meja yang memindahkan klien dan konselor itu semata-mata karena ingin menciptakan suasana akrab dan terbuka. Karena itu jika terdapat beberapa klien dalam satu proses konseling, misalnya dalam konseling kelompok, kursi hendaknya ditempatkan melingkar agar memungkinkan komunikasi yang menarik dan saling memperhatikan antara klien yang hadir itu satu sama lainnya dan antara konselor dan para kliennya.
Jauh dekatnya jarak tempat duduk konselor dan klien dapat pula mempengaruhi keakraban hubungan dalam konseling. Jika tempat duduk konselor jauh dari tempat duduk klien menjadi kurang “:involve” dan proses konseling. Sebaliknya jika tempat duduk konselor dan klien terlalu dekat dapat menimbulkan hubungan yang kaku., terbatas dan merisikan. Akibat yang akan terjadi adalah klien menjadi makin lebih tertutup atau defensif. Karena itu jarak tempat duduk konselor dan klien tidak terlalu jauh dan juga jangan terlalu dekat. Jarak tempat duduk klien dan konselor yang demikian itu masih memungkinkan klien menatap wajah konselor dan begitu juga sebaliknya. Jika klien memerlukan untuk melemparkan pandangannya ke luar jendela atau ke gambar yang tergantung di dinding di sebelah kiri atau kanan klien masih dapat dilakukan dengan leluasa. Dengan posisi duduk demikian itu klien akan merasa bebas, aman dan tidak tertekan.
Tempatkan kursi tempat duduk klien sedemikian rupa sehingga memungkinkan klien dapat melemparkan pandangannya keluar jendela. Sedapat mungkin hindari penempatan duduk klien yang membelakangi jendela. Dengan tempat duduk yang demikian itu memungkinkan klien merasa bebas, enak dan tidak tertekan. Sebaliknya jika klien membelakangi jendela maka pandangan klien akan hanya terbatas pada konselor dan ruangan sekitarnya saja. Keterbatasan itu dapat menimbulkan rasa tidak enak, kikuk dan kurang bebas.
Usahakan pelaksanaan konseling di ruang khusus untuk itu agar klien merasa aman dan bebas mengemukakan masalah tanpa khawatir didengarkan oleh oarng lain. Keberadaan konselor dan klien berduaan dalam ruang konseling ini, terutama jika klien berlainan jenis kelaminnya, dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu ahli konsling dan ahli agama Islam menyarankan agar konseling dilaksanakan oleh konselor pria jika kliennya pria, dan oleh konselor wanita jika kliennya wanita. Jika terpaksa konselor pria yang menangani klien wanita disarankan ntuk dibuka pintunya, atau pintu ruang konseling sebagian dibuat dari kaca yang tembus pandang sehingga orang lain dapat melihat keberadaan konselor dan klien dalam ruangan itu dari luar.
Disamping itu, ukuran ruangan konseling hendaknya cukup luas, setidak-tidaknya ruangan konseling itu berukuran 3x4 m mempunyai sirkulasi udara yang baik, berjendela, cukup terang dan bersih. Dalam ruangan konseling seperti itu klien akan merasa enak, bebas dan aman sehingga keterlibatannya dalam prose konseling akan tinggi.

Pentingnya menyiapkan diri konselor sendiri sama pentingya dengan menyiapkan klien dan konteks atau kondisi fisik ruangan konseling. Persiapkan diri konselor ini menurut Carkhuff (1983) meliputi (a) pengumpulan data tentang diri klien (b) mengaji tujuan konseling atau bantuan yang akan diberikan, (c) membuat diri konselor sendiri rileks. Sedangkan menurut Munro, dkk. (1979) yang perlu dipersiapkan oleh konselor menjelang konseling awal meliputi (a) perlunya dipertimbangkannya apakah klien itu datang secara sukarela atau tidak, (b) informasi dan data yang berhubungan dengan klien, (c) pengetahuan tentang hakekat dan kadar maslah, (d) mengaji tjan konseling, dan (e) kadar usaha pemberian bantuan .
Dari pendapat Carkhuff dan Munro, dkk, tersebut diatas dapat dipertimbangkan jenis persiapan yang benar diperlukan oleh konselor untuk kelancaran pelaksanaan konseling awal. Persiapan yang diperlukan konselor seperti yang dijelaskan dibawah ini:
2.2.1 Perlunya diketahui apakah klien itu datang secara suka rela atau tidak
Jika klien datang ke konselor atas kemauan sendiri, maka konselor dapat memperkirakan bahwa hubungan konseling akan lebih mudah dimulai, karena klien lebih dahulu telah mempunyai niat untuk meminta bantuan. Hal ini setidak-tidaknya menunjukan bahwa klein telah mengenal masalahnya dan berhasrat untuk memperbaiki dirinya. Sehingga kemungkinan klien “involve” secara efektif dalam proses konseling besar kemungkinan terwujud, keterbuakaan akan mewarnai proses hubungan yang sifatnya membantu itu. Disamping it konselor juga perlu waspada sebab ada kemungkinan klien yang datang kepadanya itu hanya sekedar ingin memanfaatka konselor untuk kepentingan yang bukan-bukan. Misalnya, klien bermaksud mempermainkan konselor dengan merendahkan martabat konselor, menyangsikan pengalaman, pendidikan, dan teknik-teknik yang dipakai konselor. Dalam kaitannya dengan hal ini mungkin klien menolak untuk membahas hal-hal tertentu yang sebenarnya erat sekali dengan masalah yang dibicarakan. Untuk itu konselor hendaknya secara langsung mengatakan kepada klien, “Tampaknya anda keberatan untuk membicarakan hal ini, padahal itu sebenarnya amat penting”, dan kemudian dengan tenang memulai lagi pembicaraan dari awal. Mungkin pula klien mengkritik teknik yang digunakan konselor. Dalam hal ini konselor tidak perlu berusaha mempertahankan diri dan membuka perdebatan tentang hal yang disangsikan klien itu, karena reaksi itu biasanya justru akan mengeruhkan suasana yang sudah tidak enak itu. Karena itu cara yang lebih baik ditempuh oleh konselor adalah dengan berkata, “Saya kira hal itu tidak berkaitan dengan pokok pembicaraan kita”.
Jika klien datang ke konseling bukan atas kemauannya sendiri, maka akan sangat menguntungkan jika konselor melakukan hal-hal seperti yang disarankan oleh Munro , dkk (1979) berikut ini
(1)               Menanyakan siapa yang menyuruh klien datang ke konselor.
(2)               Memberikan alasan mengapa klien diminta datang menghadap konselor, misalnya, “Pak Ahmad menganggab bahwa Anda agak kurang bergairah di dalam kelas dan hasil belajar Anda menurun”.
(3)               Mengemukakan kepada klien tentang hal-hal yang dapat diberikan oleh seorang konselor.
(4)               Mengajar klien untuk mengemukakan perasaan yang dialaminya dalam suasana saat itu. Apakah dia marah, takut, binggung, tidak menentu, dan sebagainya.
(5)               Menjelaskan bahwa klien bebas memilih satu diantara beberapa konselor yang ada di sekolah itu.
(6)               Menjelaskan bahwa klein bebas memilih untuk tetap berada di tempat itu bersama konselor atau pergi meninggalkan konselor.
2.2.2    Pengenalan data tentang diri klien
Tugas konselor dalam wawancara awal dan tahap-tahap konseling selanjutya akan diperlancar jika konselor mengetahui latar belakang kehidupan klien secara lebih dalam. Jika klien telah pernah konsultasi maka diperlukan data latar belakang klien dari interaksi-interaksi yang pernah dilakukan itu. Informasi, kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, catatan-catatan formal, dan kesan-kesan informal yang ada, serta rekaman-rekaman lainnya tentang diri klien.
Jika klien belum pernah mendapat konseling maka informasi dan data yang diperlukan oleh konselor tergantung atas prtimbangan-pertimbangan berikut ini:
(a)                Selera konselor
Ada konselor yang lebih suka memperoleh informasi dan data tentang latar belakang klien sebelum pertemuan pertama agar dapat memahami diri klien secara mendalam sehingga dapat menghemat waktu, dan lebih terarahnya wawancara yang akan dilakukannya. Sebaliknya ada pula konselor yang suka mendapatkan informasi tentang latar belakang klien secara langsung sambil berwawancara dengan klien. Di samping itu ada juga konselor yang lebih suka informasi melalui suatu wawancara yang berstruktur yang diselenggarakan sebagai suatu cara memulai  hubungan konseling.
(b)               Kadar usaha pemberian bantuan
Bagi pemberi bantuan yang lama, mendalam, dan penuh liku-liku, dan pembahasan tentang suasana dan perkembangan kejiwaan akan lebih memerlukan lebih banyak informasi tentang latar belakang klien daripada untuk suatu usaha pemberian nasehat.
(c)                Hakekat dan kadar masalah   
            Jika masalah klien menyangkut perubahan yang besar dari kepribadiannya, maka informasi yang mendalam tentang latar belakang klien sangat diperlukan. Tetapi jika masalahnya hanya sekedar keterampilan membuat surat lamaran pekerjaan atau keterampilan berbicara di depan umum maka informasi yang mendalam tentang latar belakang klien tidak di perlukan.
(d)               Tujuan konseling        
            Jika tujuan konseling adalah untuk membantu klien agar ia bebas dari pola-pola tingkah laku emosional yang telah berurat-berakar sejak masa kanak-kanak, maka untuk itu diperlukan informasi tentang kehidupan klien sejak kecil, pola kehidupan keluarganya, dan pola asuh dalam keluarga itu. Sebaliknya jika tujuan konseling itu hanya sekedar ingin memperoleh keterangan tentang syarat-syarat masuk suatu jurusan di suatu perguruan tinggi atau suatu pekerjaan, maka informasi tentang latar belakang klien yang tidak diperlukan.
(e)                Ketepatgunaan Informasi      
            Informasi tentang berbagai jenis lapangn pekerjaan akan lebih tepat dan berguna untuk konseling jabatan, tetapi mungkin kurang cocok untuk konseling perkawinan. Informasi tentang bakat dan minat seseorang akan cocok untuk konseling pemilihan jurusan, tetapi kurang cocok untuk keperluan konseling masalah social antara muda-mudi.
(f)                Ketersedian informasi
            Informasi tentang latar belakang klien tidak selalu tersedia dan kalaupun tersedia tidak selalu dapat dengan mudah diberikan pada orang atau lembaga lain yang memerlukan. Informasi tentang diri klien yang berasal dari suatu lembaga pendidikan seperti SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi umumnya tersedia berubapa daftar pribadi, otobiografi, dan catatan lainnya akan mudah diperoleh dan digunakan oleh konselor dari lembaga pendidikan yang bersangkutan. Sebalikny jika konselor dari luar sekolah seperti biro konsultasi perkawinan umumnya akan menempuh prosedur yang agak susah jika ingin memperoleh data dari sekolah dimana kliennya berada.
2.2.3 Menkaji Tujuan Konseling
Kajian tentang tujuan konseling ini ditekankan pada tujuan yang ingin dicapai oleh tahap awal  dari interaksi yang sifatnya membantu. Tujuan konseling pada tahap awal ini adalah membuat klien aktif dalam mengeksplorasi pengalaman-pengalaman sehubungan dengan masalah yang dihadapinya. Untuk mencapai tujuan ini konselor harus menyiapkan klien dengan berbagai cara seperti memikat klien, member informasi tentang hakikat pelayanan konseling, dan mendorong klien untuk memanfaatkan bantuan konseling tersebut.
2.2.4    Membuat Diri konselor Sendiri relaks
Konselor Hendaknya Membuat Dirinya Sendiri merasa relaks, yaitu rileks pikirannya dan badannya untuk menghadapi konseling yang akan segera dilaksanakan. Untuk membuat rileks pikirannya, konselor dapat mencapainya dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan dan pengalaman-pengalaman yang serba mulus, lancar dan menggembirakan. Untuk membuat badan klien relaks dapat dicapai dengan mengendorkan otot-ototnya satu persatu. Dan masih banyak lagi usha yang dapat dilakukan untuk membuat pikiran badan konselor relaks.

Kesediaan klien “INVOLVE” dalam proses konseling akan tergantung pada seberapa baik konselor menyiapkan kliennya. Menurut Carkhuff (1983) ada tiga cara atau prosedur untuk menyiapkan klien yaitu:
(a)                Memikat klien,
(b)               Member informasi tentang etika konseling dan konselor yang dapat diplih, dan
(c)                Mendorong klien untuk mengambil konseling dengan serius.
Tidak involve klien secara penuh dalam proses konseling itu oleh egan tahun 1982 dinamakan  “reluctan” dan “resistant”. “Reluctant “ adalah keadaan atu sikap klien yang enggan datang kekonseling sebab kedatangannya itu bukan atas kemauannya sendiri. Klien yang “resistant” dating ke konseling secara setengah hati. Semua klien “reluctant” dan sekarang sudah dapat mengatasi “reluctant”nya belum berhasil sepenuhnya. Yang masih setengah hati. Menurut egan 1982 sebab dari “reluctan” dan “resistant” itu ada 18 macam. Beberapa diantaranya:
(a)                Klien tidak mengerti kenapa harus pergi untuk konseling untuk pertamakalinya
(b)               Klien yang dikirim oleh guru, orangtua, atau lembaga lain
(c)                Klien yang takut karena belum tahu tentang hakikat konseling
(d)               Klien yang tidak tahu bagaimana berpartisipasi secara efektif dalam konseling
(e)                Klien yang tidak suka pada konselor
Melihat sebab-sebab klien kurang “involve” seperti tersebut di atas maka konselor harus menyiapkan klien dengan baik agar ia merasa aman diterima dan dihargai sehinnga terciptalah hubungan baik (repport). Untuk itu perlu usaha-usaha sebagai berikut:
Menurut carkhuff (1983) memikat klien berarti menyebut klien secara formal dan berusaha mewujudkan kerangka acuan mengenai tujuan hubungan konseling. Egan (1983) menyatakan bahwa penyambutan klien dalam rangka membangun “repport” itu dapat diwujudkan dengan sikap empati, sebab dengan sikap empati ini akan dapat mengembangkan keterbukaan dan kepercayaan pada diri klien sehinggan hanya mampu mengeksplorasi dirinya sendiri dan masalah-masalahnya. Sedangkan tyler 1961 menyarankan agar konsselor tetap bersikap “acceptance”. Sikap ini hendaknya dikomunikasikan pada klien lebih dahulu, yaitu sikap manusia, ramahtamah, ketepatan waktu, bersahabat, dsb. Sikap-sikap koonselor itu akan menimbulkan keterbukaan klien.
Dengan demikian prosedur atau cara memikat klien agar mau berpartisipasi akrib dalam konseling dapat meliputi berbagai usaha untuk menyambut klien secara formal tetapi masih bersifat hangat, dan berbagai usaha untuk mewujudkan kerangka acuan mengenai tujuan hubungan konseling.
(1)               Menyambut klien secara formal dan hangat, dapat terdiri dari:
(a)                Mengucapkan salam
(b)               Berjabat tangan
(c)                Mempersilahkan duduk
(d)               Menyebut nama klien (kalo sudah kenal namanya) atau menanyakan nama klien (kalo belum kenal sebelumnya),
(e)                Memperkenalkan nama konselor
(f)                Membicarakan hal-hal yang menarik yang sempat ditangkap dari pertemuan yang singkat itu.
(2)               Mewujudkan kerangka acuan mengenai tujuan konseling, dapat dilakukan dengan:
(a)                Mengemukakan tujuan klien dating pada konselor, misalnya: baiklah, saya kira anda dating kemari karena ada suatu masalah yang mengganggu anda.
(b)               Kalau dengan kata-kata konselor tersebut klien belum juga mau terbuka, maka konselor dapat menambahkan penjelasan lebih lanjut.
Mungkin saja klien masih ragu-ragu untuk mengemukakan masalahnya. Berbagai perasaan was-was berkecamuk dalam dirinya, ia merasa takut kalau rahasianya diketahui orang lain. Dalam keadaan seperti ini konselor hendaknya member informasi-informasi yang diperkirakan dapat menghilangkan keragu-raguan klien itu. Informasi-informasi antara lain diuraikan di bawah ini:
(1)     Etika konseling; mungkin keragu-raguan klien itu disebabkan karena klien belum memahami kode etik konseling. Untuk itu konselor hendaknya dapat mengemukakan dan meyakinkan kode etik ini pada klien.
(2)     Konselor yang dapat dipilih;  untuk lebih meyakinkan klien bahwa konseling itu menjamin kebebasan klien dapat mewujudkan melalui adanya kesempatan klien untuk memilih konselor mana yang klien sukai untuk berkonsultasi. Konselor dapat mengemukakan maksud tersebut.
Agar klien mau “involve” dalam proses konseling dapat pula dilakukan dengan memotivasi klien dengan cara member penjelasan tentang alsan-alasan mengapa ia harus aktif berpartisipasi dalam proses konseling. Dalam hal ini konselor dapat berkata dengan berbagai cara, misalnya:
(1)          “Jika anda aktif dalam proses konseling ini anda akan dapat menemukan sendiri jalan keluar dari masalah yang anda hadapi saat ini dalam waktu yang tidak terlalu lama.”
(2)          “Konseling ini akan memerlukan sekitar 3 kali pertemuan yang tiap pertemuannya yang memerlukan waktu sekitar 30 menit. Jikan anda aktif dalam mengungkapkan latarbelakang masalah anda dan aktif dalam memikirkan jalan keluar dari masalah tersebut mungkin masalah anda akan teratasi, tetapi kalu anda pasif dan tertutup mungkin akan memerlukan waktu akan lebih banyak lagi.
Prosedur ini dapat pula dinamakan “kontrak” atau kesepakatan dalam mengambil konseling sesuai dengan prosedur tertentu yang telah disepakati bersama oleh klien dan konselor. Kontrak ini pula yang memungkinkan klien “involve” secara penuh.

Carkhuff (1983) menyatakan bahwa melayani secara pribadi memungkinkan klien dapat merasa dekat dengan konselor, sehingga konselor dapat mengkomunikasikan minat dan perhatiannya pada klien. Mengkomunikasikan minat kepada klien akan memungkinkan konselor memperoleh respon minat dari klien secara timbale balik. Menurut  Carkhuff  melayani secara pribadi adalah usaha konselor untuk menempatkan diri sedimikian rupa sehingga dapat member perhatian secara penuh dan tak terbagi pada klien. Karena itu melayani secara pribadi menekankan pentingnya konselor menghadapi klien secara penuh dengan (a) menghadap secara tepat pada klien, (b) condong kedepan yaitu pada klien, dan (c) mengadakan kontak mata dengan klien.

Salah satu sikap konselor dalam menghadapi klien adalah menghadapinya secara penuh. Apakah konselor berdiri dan duduk, konselor harus menghadap pada klien secara tepat, yaitu bahu kiri konselor lurus dengan bahu kanan klien, dan bahu kanan konselor lurus dengan bahu kiri klien. Jika konselor menghadapi pasangan suami-istri atau kelompok kecil, konselor hendaknya menempatkan diri pada titik sudut dimana jaraknya sama antara orang yang ada di sisi kiri dan sisi kanan.
Cara konselor menghadapi klien secara pribadi yang ke dua adalah menyodorkan badan ke depan. Misalnya jika konselor duduk, maka konselor harus menyodorkan badannya kedepan kearah klien yang sedang duduk atau yang sedang dihadapi oleh konselor.
Konselor dapat berkomunikasi secara penuh perhatian jika ia memelihara “ kontak mata” dengan klien yang dihadapinya. Melalui usaha konselor melakukan “kontak mata”  itu, klien akan sadar bahwa ia sedang diperhatikan secara psikologi. Tentu saja tidak sepanjang proses konseling konselor harus “menatap mata” klien, sebab cara memandang yang terus- menerus seperti itu dapat mendatangkan pengaruh yang sebaliknya, yaitu bukan keakraban yang dapat diperoleh tetapi sebaliknya klien menjadi bosan, jengkel ataupun penolakan . “tatapan mata” itu seperlunya saja, yaitu yaitu pada saat-saat penting, saat kita ingin meyakinkan klien, sang konselor ingin mengetahui pendapatnya, dan sebagainya. Bahkan memang ada saatnya klien diberi kesempatan untuk melemparkan pandangannya secara bebas keluar lewat jendela, atau kegambar-gambar yang ada didinding agar klien bebas berpikir dan bebas melepaskan ketegangannya.  
Dengan demikian melayani klien secara pribadi yang baik adalah jika konselor menghadap ke klien secara tepat, kontak mata, dan condong kedepan sekitar 20 derajat. Jika konselor hanya mendemonstrasikan dua dari tiga indikator kemampuan melayani klien secara pribadi itu maka kualitas melayani klien secara pribadinya tergolong cukup. Tetapi jika ke tiga indikator itu tidak ada maka kualitas melayani klien secara pribadi masih kurang atau rendah.

Keterampilan yang paling penting yang dihasilkan atau yang diperlakukan oleh “attending” secara pribadi adalah keterampilan mengobservasi. Mengobservasi adalah keterampilan membantu yang paling dasar. Observasi adalah sumber dari belajar konselor tentang klien. Konselor belajar sesuatu tentang orang atau klien melalui observasi terhadapnya.
Munro, dkk. (1979) menyatakan bahwa sejak pertemuan pertama antara konselor dank lien, masing-masing memulai proses pengamatan dan bertanya dalam diri. Misalnya konselor melihat klien tampak kurus dan pucat,kemudian ia bertanya dalam diri “apakah dia sakit”. Sebaliknya klien juga mengamati keadaan konselor, misalnya ia melihat konselor berperawakan tinggi besar seperti ayahnya dan tampak menakutkan. Kemudian ia bertanya dalam hati lagi “dapatkah saya mempercayai konselor ini? “ Carkhuff (1983) mengemukakan mengobservasi postur, perutarba dan wajah klien untuk meyakinkan kebenaran pernyataan klien. Jika klien mengatakan keadaannya baik-baik saja, padahal ia berdiri dengan lunglai, melihat kelantai dan gelisah, maka konselor dapat menarik kesimpulan bahwa pernyataan klien itu tidak benar.  Munro, dkk.(1979) selanjutnya menyarankan hal-hal yang mungkin diamati dan ditanyakan oleh konselor yang meliputi : penampilan jasmaniah, gaya dan sikap, gerakan dan isyarat-isyarat, sikap badan, suasana lingkungan, perbedaan dalam status social, jarak duduk antara konselor dan klien, serta kontak mata. Hal-hal yang diamati dan pernyataan-pernyataannya dapat dilihat pada uraian dibawah ini.
a.                   Penampilan Jasmani  Klien
Apakah keadaan jasmani klien menimbulkan masalah baginya? Apakah keadaan jasmani klien merupakan petunjuk tangan kesehatannya? Apakah kerapian pakaiannya menggambarkan keadaan kesehatan pribadinya?
b.                  Gaya dan Sikap          
            Apakah klien gugup rendah diri? Menyerang? Mempertahankan diri? Tidak bersemangat?
c.                   Gerakan dan Isyarat-isyarat
Apakah klien tampak diam saja atau banyak gerak? Apakah yang ia lakukan dengan tangannya? Dengan kepalanya? Dengan kakinya? Apakah kira-kira maksud dari gerakan-gerakan atau isyarat-isyarat yang dilakukan itu?
d.                  Sikap Badan
Apakah ia duduk tegap? Membungkuk? Berdiri bebas? Bersandar pada meja atau kursi? Apakah m,aksudnya semua itu?
e.                   Perbedaan dalam Status Sosial          
            Apakah pakaian klien menunjukan kemiskinannya? Kekayaannya? Status social? Atau keadaan jiwa tertentu?
f.                   Jarak Duduk antara Konselor dan Klien        
            Apakah klien duduk terlslu dekat dengan konselor sehingga klien menjadi takut karena jarak yang dekat itu? Apakah konselor dank lien duduk dalam jarak yang terlalu jauh sehingga hubungan kurang akrab?
g.                  Kontak mata  
            Apakah klien mampu melihat penyuluh dengan tatapan mata, ataukah menghindar dari tatapan mata konselor?
Carkhuff (1983) menyatakan bahwa yang hendaknya diobservasikan konselor adalah dimensi fisik klien, dimensi emosional klien, dan dimensi intelektual klien.
a.                   Mengobservasi dimensi fisik klien     
            Dengan mengobservasikan dimensi fisik klien, konselor dapat mempelajari level energy klien. Level energy klien itu perlu atau penting diketahui karena level energy adalah jumlah usaha fisik yang dikerahkan untuk mencapai tujuan. Orang yang memiliki level energy yang tinggi dapat mengalami kesempurnaan hidup. Orang yang memiliki level energy yang rendah mempunyai kesulitan yang besar dalam memenuhi tuntutan kehidupan sehari-hari, sewkalipun tuntutan kehidupan itu sangat sederhana.          
            Kita dapat mengobservasikan level energy dalam tiga bidang utama, yaitu bentuk tubuh, postur, dan kerapihan. Misalnya, klien yang secara cenderung memiliki level energy yang rendah. Klien yang postur tubuhnya kelihatan loyo mengisyaratkan level energy yang rendah. Begitu juga halnya klien yang dating ke konselor dengan pakaian kotor dan tidak tampak necesa dengan rambut yang tidak terurus biasanya menunjukan bahwa klien tidak memiliki energy yang cukup untuk merawat dirinya sendiri.
b.                  Mengobservasikan dimensi emosional           
            Jika konselor ingin mengetahui perasaan klien, maka konselor harus mengobservasinya melalui perasaannya. Level emosional akan mempunyai perasaa “up” (mampu, positif, sehat) untuk menangani secara efektif tugas-tugas yang dihadapinya. Level emosional yang rendah berarti “perasaan turun” (negative, sedih, susah) dan unjuk kerja yang kurang terhadap tugas-tugas yang ada.
            Konselor dapat mengobservasi level emosional dalam tiga bidang, yaitu:
1.                  Postur tubuh   
            Jika bahu dan kepala meliuk kebawah dapat menunjukan perasaan putus asa, jika otot-otot kelihatan kaku dan tegang dapat merupakan indikasi dari adanya ketegangan perasaan. Jadi dari postur tubuh dapat menjadi petunjuk apakah klien dalam keadaan depresi, ketegangan-ketegangan, atau dalam keadaan emosi yang sehat dan gembira
2.                  Tingkah laku (behavior)         
            Tingkah laku merefleksikan indicator yang serupa dengan postur tubuh. Gerakan-gerakan yang lamban menunjukkan perasaan putus asa. Dan gerakan-gerakan yang tergesa-gesa disertai dengan gemetaran menunjukkan tegang.
3.                  Ekspresi wajah           
            Dari ekspresi wajah dapat dibaca apakah klien gembira, takut, marah, sedih, bosan, tertarik, dan sebagainya.
c.                   Mengobservasikan dimensi intelek    
            Tingkat kesiapan intelek klien menunjukkan siapnya klien untuk memuaskan diri pada tugas-tugas mereka. Level intelektual yang tinggi menunjukkan klien siap melakukan tugas, sedangkan sebaliknya tidak. Seperti halnya dalam mengobservasi dimensi emosional, konselor dapat mengobservasi level intelektual melalui tiga bidang, yaitu
·         Postur tubuh   
Postur tubuh yang loyo dapat menunjukkan kurangnya persiapan klien untuk konseling dan proses belajar yang bakal terjadi selama proses konseling.
·         Tingkah laku  
Tingkah laku yang tidak bertujuan dapat menunjukkan tanda menghindari belajar yang akan terjadi dalam proses konseling
·         Ekspresi wajah           
Ekspresi wajah dpat menunjukkan level pemuasan minat pada pengalaman konseling yang sedang dihadapi. Wajah yang kelihatan pucat dapat menunjukkan takut, wajah yang bimbang menunjukkan klien belum siap melakukan tugas yang akan dihadapi atau keputusan yang akan dilaksanakan.
Dari ketiga bidang yang dapat menggambarkan dimensi intelek klien itu konselor dapat membaca apakah klien konsisten dengan ucapannya atau tidak. Jika wajah klien menunduk ke bawah, badannya loyo, dan wajahnya murung, tetapi ia mengatakan “baik-baik saja”, maka konselor antara seperti itu perasaannya sedang kalut. Karena itu konselor jangan cepat percaya dengan ucapan klien. Observasilah dimensi level intelektualnya untuk menyakinkan benar tidaknya ucapan klien itu.
Mengobservasi diri konselor sendiri juga merupakan cara pula untuk mengetahui keadaan diri klien. Hanya konselor perlu hati-hati, sebab sering pengalaman konselor satu dengan lainnya berbeda walaupun gejala yang Nampak sama atau hamper sama. Untuk itu perlu dicek kebenarannya melalui cara lain, misalnya dengan mendengarkan informasi lisan dari klien sendiri.

Ekspresi verbal adalah sumber input yang paling sering digunakan dalam roses konseling. Apa-apa yang dikatakan dan bagaimana mengatakannya adalah merupakan tentang cara klien melihat dirinya sendiri dan dunia sekitarnya.
Jika konselor memperhatikan klien secara penuh dan tak terbagi, maka konselor akan siap untuk mendengarkan ekspresi verbal klien. Semakin konselor memperhatikan tanda-tanda seksternal yang dikemukakan oleh klien, konselor semakin dapat mendengarkan kunci-kunci internal yang mengembangkan ekspresi dari dalam. Menurut Carkhuff (1983) ada 4 cara untuk mengembangkan keterampilan mendengarkan, yaitu:

Sebagaimana pendengar yang baik, konselor hendaknya tahu mengapa ia mendengarkan, konselor harus mempunyai alasan mengapa ia mendengarkan. Tujuannya adalah mengumpulkan informasi yang ada hubungannya dengan masalah yang klien hadapi dan tujuan yang dikemukakan oleh klien.
Sebagaimana mengobservasi, konselor hendaknya mendengarkan pada isyarat-isyarat tingkat jasmani, emosi, dan intelektual klien. Untuk itu konselor harus memuaskan pada kata-kata, nada suara, dan cara mengatakannya. Kata-kata klien merupakan isi intelektual yang dikemukakan klien berdasarkan pengalamannya. Nada suara merupakan tanda keadaan perasaan klien. Cara penyampaian atau mengucapkan kata-kata merupakan tanda level energi klien. Misalnya, isi pembicaraan diekspresikan dalam tekanan suara yang rendah dan tidak bergairah merupakan tanda klien yang sedang mengalami depresi dengan level energi yang rendah
Konselor harus tidak terburu-buru menilai apa yang dikatakan klien. Setidak-tidaknya di awal-awal konseling. Konselor hendaknya memberikan kesempatan klien mengemukakan isi hatinya tanpa ia mencoba membuat keputusan atau penilaian tentang yang dikemukakan klien itu.
Menunda penilaian berarti menunda nilai-nilai dan sikap konselor sehubungan dengan isi pengalaman klien yang baru dikemukakan itu. Misalnya, konselor tidak cepat-cepat menyetujui tingkah laku klien atau cara hidup klien. Diakui bahwa perasaan konselor tidak sama dengan perasaan klien , tetapi tujuan konselor adalah untuk menfasilitas pertumbuhan klien dan perkembangan klien seoptimal mungkin.
Konselor hendaknya dapat memusatkan perhatiannya pada klien dengan menyingkirkan penggunaan dari luar. Banyak hal yang terjadi di luar yang tidak membantu konselor dalam mendengarkan. Jadi, yang penting dalam mendengarkan adalah memusatkan perhatian pada klien.
Dalam memusatkan pada isisitu, konselor ingin mendapat kepastian yang rinci tentang pengalaman klien. Konselor memusatkan perhatian pada isi, menurut Carkhuff (1983) berarti yang harus diperhatikan konselor meliputi: siapa? Apa? Mengapa? Kapan? Dimana? Bagaimana? Dengan memusatkan pasa jawaban pertanyaan-pertanyaan itu konselor dapat yakin bahwa ia telah memperoleh pengetahuan tentang isi pengalaman klien.
Pemusatkan ini dilakukan agar konselor dapat mengingat isi dan perasaan yang di ekspresikan klien. Dengan pemusatan ini konselor yang menangkap ekspresi singkat klien dapat mengingat keseluruhan ekspresi klien yang dikemukakan dengan kata-kata. Dengan ekspresi kata-kata yang panjang, konselor diharapkan dapat mengingat intisari dari ekspresi itu.
Konselor harus belajar mengingat ekspresi klien dalam periode waktu yang agak lama. Yang konselor harus temukan untuk dapat mengingat ekspresi klien itu adalah tema umum dari pengalaman klien. Tema penting dari pengalaman klien itu akan diulang-ulang terus. Biasanya klien akan menginvestasikan yang paling hebat dalam tema itu karena klien sedang mencoba mengkomunikasikan hal-hal yang paling hebat itu kepada konselor.
Tema ini kan mengatakan kepada konselor tentang apa yang klien benar-benar coba dikatakan tentang dirinya sendiri atau dunianya.hal ini dapat terjadi kalau konselor memberikan kesempatan . konselor hanya menerimanya saja pesan-pesan yang klien kemukakan dan kemudian konselor mengolahnya menjadi tema-tema umum untuk persiapan konselor merespon klien. Jadi, mendengarkan untuk memperoleh tema umum dapat dilakukan melalui perkataan atau hal yang selalu diulang-ulang oleh klien, dan hal-hal yang menjadi intensitas klien.






















            Cara mengembangkan tata formasi dan iklim hubungan konseling awal diantaranya:
1.      Menyiapkan konteks, yaitu tempat berlangsungnya konseling
2.      Menyiapkan diri konselor sendiri untuk siap memberi konseling
3.      Menyiapkan klien untuk siap melakukan hubungan konseling dengan:
a.       Memikat klien dengan menyebut klien secara formal, dan mewujudkan keranngka acuan mengenai tujuan hubungan konseling.
b.      Meberikan informasi tentang etika konseling dan konselor yang dapat dipilih.
c.       Mendorong klien untuk mengambil konseling (kontrak)
4.      Melayani klien secara pribadi.
5.      Mendengarkan klien.
6.      Mengobservasikan dan mendengarkan secara akurat

1.      Bagi konselor hendaknya memperhatikan pengembangan tata formasi dan iklim hubungan konseling awal.
2.      Bagi klien hendaknya mempersipakn diri sebelum melakukan proses konseling.











Abimanyu, Soli dan Thayeb Manrihu. 1996. Tehnik dan Labolatorium Konseling. Depdikbud: Jakarta.
Dewa, Anggara. 2011. Mengembangkan Tehnik dan Tata Formasi Konseling Awal. Www.konseling_diskusi.co.id: Diakses pada 7 Oktober 2015.






























0 Response to "Pengembangan Tata Formasi dan Iklim Hubungan Konseling Awal"

Posting Komentar