MAKALAH
Pengembangan Tata Formasi dan Iklim Hubungan
Konseling Awal
OLEH:
PUTRI LUTIANA
A1L014055
PROGRAM STUDI
BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
BENGKULU
2014/2015
Kata
Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
dalam menuju ke pendidikan yang baik demi masa depan bangsa.
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini penulis akui masih banyak
kekurangan karena pengalaman yang penulis miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu penulis harapkan kepada para
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Terima Kasih...
Bengkulu, 7 Oktober 2015
Penulis
|
BAB I
PENDAHULUAN
Kontak
pertama antara konselor dan klien umumnya akan mempengaruhi kelangsungan
pertemuan dan hubungan selanjutnya serta tercapai tidaknya tujuan konseling.
Karena itu, hubungan yang akrab antara konselor dan klien harus ditumbuhkan dan
dibina terus baik dalam pertemuan awal maupun dalam pertemuan-pertemuan
selanjutnya.
Klien
datang ke konselor atas kemauan sendiri atau dikirim oleh orang lain ataupun
konselor sendiri yang menginginkan agar klien datang kepadanya, umumnya diliputi
oleh keragu-raguan dan kecemasan serta mungkin pula takut apakah ia bebas
mengemukakan perasaan-perasaan atau masalah-masalah. Klien bertanya-tanya dalam
dirinya apakah ia diterima dengan baik oleh konselor, apakah ia dapat
mempercayai konselor, apakah rahasia-rahasianya tidak dibocorkan pada orang
lain, apakah hubungan dengan konselor dapat dibina dan memuaskan, dapatkah
konselor membantunya, dan sebagainya. Kalau perasaan-perasaan dan keraguan
tersebut tidak segera dapat dihilangkan akan dapat mengganggu hubungan konselor
dan klien. Mungkin klien menjadi takut dan memutuskan diri untuk tidak
meneruskan hubungan konseling. Kalaupun hubungan konseling itu berlanjut
mungkin klien tidak “involve” dengan penuh dan bahkan bisa pula defensif atau
sebaliknya menjadi pasif, dan tertutup. Ketidakterbukaan dan kurangnya
kepercayaan klien kepada konselor itu dapat menghambat klien dalam
mengeksplorasi dirinya sendiri dan situasi masalah yang dihadapinya. Jika
keadaan ini terus berlanjut maka gagallah pencapaian tujuan konseling.
Untuk
itu konselor harus bisa membangun hubungan baik dengan klien, sehingga klien ma
“involve”, terbuka, dan aktif selama proses konseling. Monro, dkk. (1979)
menyarankan agar konselor bersikap empatis, menghargai, dan peka. Hal ini karena
klien mempunyai keinginan untuk merasakan bahwa konselor mampu melihat keadaan
yang dihadapi klien sebagaimana klien itu melihatnya dan dapat ikut merasakan
perasaan yang dialami klien, serta dapat menerima sebagaimana adanya kerangka
berfikir klien. Klien akan mereaksi secara positif terhadap tindakan konselor
yang bersahabat, bersikap membantu, dan penuh pertimbangan yang matang. Carkhuff
(1983) menyarankan agar konselor mempunyai keterampilan melayani (attending
sklills) yang diselenggarakan atau berlangsung dalam konteks atau
kondisi-kondisi inti itu meliputi empati, penghargaan, dan kekonkritan. Dengan
keterampilan melayani yang berlangsng dalam kondisi inti itu akan memungkinkan
klien “involve” dalam proses konseling yang sedang diberikan dan benar-benar
memperhatikan dan memanfaatkan konseling yang sedang berlangsung itu.
Keterampilan
melayani itu meliputi (a) penyiapan klien, konteks, dan diri konselor sendiri,
(b) memperhatikan klien secara pribadi, dan (c) mengobservasikan dan
mendengarkan.
Cormier
dan cormier (1985) mengemukakan suatu prosedur yang dinamakan penstrukturan
langsung untuk menghilangkan perasaan ragu-ragu klien dan untuk menimbulkan
persamaan persepsi antara konselor dan klien. Dengan penstrukturan itu
diharapkan diperoleh persepsi yang sama tentang peranan konselor dan klien
selama proses konseling, tujuan yang ingin dicapai etika yang harus dipedomani,
serta jumlah dan lamanya pertemuan konseling. Kesamaan persepsi yang dicapai
akan merpakan kondisi bagi keterbukaan dan terciptanya hubungan yang baik dalam
proses konseling.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana
cara mengembangkan keterampilan dalam tata format dan iklim hubungan konseling
awal?
Mengetahui tentang pengembangan tata formasi
dan iklim hubungan konseling awal.
Bertolak
dari pendapat Monro, dkk. (1979), Carkhuff (1983), dan Cormier dan Cormier
(1985) maka dalam bab ini akan dipelajari berbagai prosedur dan keterampilan
yang diperlukan dalam mengembangkan tata formasi dan iklim hubungan konseling
awal yang baik meliputi:
1.
Menyiapkan kondisi fisik ruangan
konseling posisi tempat duduk, jarak dan sekap duduk konselor dan klien.
2.
Menyiapkan mental klien dan konselor
untuk memulai hubungan konseling.
3.
Menerima klien secara akrab dengan
berbagai cara seperti: melayani klien secara pribadi, mengobservasi dan
mendengarkan secara baik, dan memciptakan hubungan baik (rapport)
4.
Melaksanakan penstrukturan.
Keterampilan
menyiapakan konteks atau kondisi fisik ruangan konseling yang memungkinkan
klien merasa aman, tentang, relaks, dan senang sangat diperlukan bagi seorang
konselor yang profesional. Pertanyaan-pertanyaan berikut ini hendaknya
dipertimbangkan dalam menyiapakan konteks. Apakah konseling dilakukan dalam
suasana hubungan empat mata atau “face to face” ? apakah sifdat hubungan itu
tidak resmi? Adakah keadaan ruang konseling itu bebas dari suara-suara yang
mengganggu? Adakah keadaan ruangan itu cukup menyenangkan? Apakah tempat
duduknya enak dan diletakkan dalam posisi yang tepat? Dan masih banyak lagi pertimbangan-pertimbangan
yang diperlukan dalam menyiapakan konteks ini.. dengan demikian penyiapan
konteks ruangan konseling meliputi pengaturan dekorasi ruangan, pengaturan
tempat duduk, dan pengaturan jarak tempat duduk konselor dan klien, letak
tempat duduk klien, dan ruang konseling.
Dekorasi ruangan
konseling hendaknya memungkinkan klien dapat mengenalinya dan dipilih dekorasi
yang klien sudah familiar dengannya. Misalnya, jika klien seorang mahasiswa
maka dekorasi yang dipilih hendaknya berupa gambar buku, foto kampus, gambar
ruang kuliah, gambar toga, atau foto seorang wisudawan/wisudawati. Gambar
benda-benda atau situasi tersebut telah dikenal secara baik oleh klien dan
mengenakkan ataub menyenangkannya. Dalam ruangan yang didekor seperti itu klien
akan merasa senang, kerasan, dan enak. Dalam suasana perasaan seperti itu klien
akan terlibat (involve) secara penuh dalam proses konseling.
Pengaturan tempat duduk
hendaknya memungkinkan klien dapat berkomunikasi secara terbuka. Untuk itu
konselor dan klien hendaknya duduk di kursi, berhadap-hadapan satu sama lain
tampa meja atau bangku yang menghalang-halangi klien dan konselor. Tempat duduk
klien dan konselor yang terhalang oelh meja dapat membawa ke suasana hubungan
yang terlalu formal seperti yang umumnya dikerjakan oleh seorang direktur
cenderung aktif sedangkan stafnya cenderung pasif dan tidak banyak kata lagi
segera pergi melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. Ini bukan berarti
bahwa jika tempat duduk konselor dan klien itu tidak terbatas. Hubungan
konselor dan klien dalam banyak hal masih terbatas. Keterbatasan hubungan
antara konselor dan klien itu diatur dalam kode etik konseling. Ketiadaan meja
yang memindahkan klien dan konselor itu semata-mata karena ingin menciptakan
suasana akrab dan terbuka. Karena itu jika terdapat beberapa klien dalam satu
proses konseling, misalnya dalam konseling kelompok, kursi hendaknya
ditempatkan melingkar agar memungkinkan komunikasi yang menarik dan saling
memperhatikan antara klien yang hadir itu satu sama lainnya dan antara konselor
dan para kliennya.
Jauh dekatnya jarak
tempat duduk konselor dan klien dapat pula mempengaruhi keakraban hubungan
dalam konseling. Jika tempat duduk konselor jauh dari tempat duduk klien
menjadi kurang “:involve” dan proses konseling. Sebaliknya jika tempat duduk
konselor dan klien terlalu dekat dapat menimbulkan hubungan yang kaku.,
terbatas dan merisikan. Akibat yang akan terjadi adalah klien menjadi makin
lebih tertutup atau defensif. Karena itu jarak tempat duduk konselor dan klien
tidak terlalu jauh dan juga jangan terlalu dekat. Jarak tempat duduk klien dan
konselor yang demikian itu masih memungkinkan klien menatap wajah konselor dan
begitu juga sebaliknya. Jika klien memerlukan untuk melemparkan pandangannya ke
luar jendela atau ke gambar yang tergantung di dinding di sebelah kiri atau
kanan klien masih dapat dilakukan dengan leluasa. Dengan posisi duduk demikian
itu klien akan merasa bebas, aman dan tidak tertekan.
Tempatkan kursi tempat
duduk klien sedemikian rupa sehingga memungkinkan klien dapat melemparkan
pandangannya keluar jendela. Sedapat mungkin hindari penempatan duduk klien
yang membelakangi jendela. Dengan tempat duduk yang demikian itu memungkinkan
klien merasa bebas, enak dan tidak tertekan. Sebaliknya jika klien membelakangi
jendela maka pandangan klien akan hanya terbatas pada konselor dan ruangan
sekitarnya saja. Keterbatasan itu dapat menimbulkan rasa tidak enak, kikuk dan
kurang bebas.
Usahakan
pelaksanaan konseling di ruang khusus untuk itu agar klien merasa aman dan
bebas mengemukakan masalah tanpa khawatir didengarkan oleh oarng lain. Keberadaan
konselor dan klien berduaan dalam ruang konseling ini, terutama jika klien
berlainan jenis kelaminnya, dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu
ahli konsling dan ahli agama Islam menyarankan agar konseling dilaksanakan oleh
konselor pria jika kliennya pria, dan oleh konselor wanita jika kliennya
wanita. Jika terpaksa konselor pria yang menangani klien wanita disarankan ntuk
dibuka pintunya, atau pintu ruang konseling sebagian dibuat dari kaca yang
tembus pandang sehingga orang lain dapat melihat keberadaan konselor dan klien
dalam ruangan itu dari luar.
Disamping
itu, ukuran ruangan konseling hendaknya cukup luas, setidak-tidaknya ruangan
konseling itu berukuran 3x4 m mempunyai sirkulasi udara yang baik, berjendela,
cukup terang dan bersih. Dalam ruangan konseling seperti itu klien akan merasa
enak, bebas dan aman sehingga keterlibatannya dalam prose konseling akan
tinggi.
Pentingnya
menyiapkan diri konselor sendiri sama pentingya dengan menyiapkan klien dan
konteks atau kondisi fisik ruangan konseling. Persiapkan diri konselor ini
menurut Carkhuff (1983) meliputi (a) pengumpulan data tentang diri klien (b)
mengaji tujuan konseling atau bantuan yang akan diberikan, (c) membuat diri
konselor sendiri rileks. Sedangkan menurut Munro, dkk. (1979) yang perlu
dipersiapkan oleh konselor menjelang konseling awal meliputi (a) perlunya
dipertimbangkannya apakah klien itu datang secara sukarela atau tidak, (b)
informasi dan data yang berhubungan dengan klien, (c) pengetahuan tentang
hakekat dan kadar maslah, (d) mengaji tjan konseling, dan (e) kadar usaha
pemberian bantuan .
Dari
pendapat Carkhuff dan Munro, dkk, tersebut diatas dapat dipertimbangkan jenis
persiapan yang benar diperlukan oleh konselor untuk kelancaran pelaksanaan
konseling awal. Persiapan yang diperlukan konselor seperti yang dijelaskan
dibawah ini:
2.2.1
Perlunya diketahui apakah klien itu datang secara suka rela
atau tidak
Jika
klien datang ke konselor atas kemauan sendiri, maka konselor dapat
memperkirakan bahwa hubungan konseling akan lebih mudah dimulai, karena klien
lebih dahulu telah mempunyai niat untuk meminta bantuan. Hal ini
setidak-tidaknya menunjukan bahwa klein telah mengenal masalahnya dan berhasrat
untuk memperbaiki dirinya. Sehingga kemungkinan klien “involve” secara efektif
dalam proses konseling besar kemungkinan terwujud, keterbuakaan akan mewarnai
proses hubungan yang sifatnya membantu itu. Disamping it konselor juga perlu
waspada sebab ada kemungkinan klien yang datang kepadanya itu hanya sekedar
ingin memanfaatka konselor untuk kepentingan yang bukan-bukan. Misalnya, klien
bermaksud mempermainkan konselor dengan merendahkan martabat konselor,
menyangsikan pengalaman, pendidikan, dan teknik-teknik yang dipakai konselor.
Dalam kaitannya dengan hal ini mungkin klien menolak untuk membahas hal-hal
tertentu yang sebenarnya erat sekali dengan masalah yang dibicarakan. Untuk itu
konselor hendaknya secara langsung mengatakan kepada klien, “Tampaknya anda
keberatan untuk membicarakan hal ini, padahal itu sebenarnya amat penting”, dan
kemudian dengan tenang memulai lagi pembicaraan dari awal. Mungkin pula klien
mengkritik teknik yang digunakan konselor. Dalam hal ini konselor tidak perlu
berusaha mempertahankan diri dan membuka perdebatan tentang hal yang
disangsikan klien itu, karena reaksi itu biasanya justru akan mengeruhkan
suasana yang sudah tidak enak itu. Karena itu cara yang lebih baik ditempuh
oleh konselor adalah dengan berkata, “Saya kira hal itu tidak berkaitan dengan
pokok pembicaraan kita”.
Jika
klien datang ke konseling bukan atas kemauannya sendiri, maka akan sangat
menguntungkan jika konselor melakukan hal-hal seperti yang disarankan oleh
Munro , dkk (1979) berikut ini
(1)
Menanyakan siapa yang menyuruh klien
datang ke konselor.
(2)
Memberikan alasan mengapa klien diminta
datang menghadap konselor, misalnya, “Pak Ahmad menganggab bahwa Anda agak
kurang bergairah di dalam kelas dan hasil belajar Anda menurun”.
(3)
Mengemukakan kepada klien tentang
hal-hal yang dapat diberikan oleh seorang konselor.
(4)
Mengajar klien untuk mengemukakan
perasaan yang dialaminya dalam suasana saat itu. Apakah dia marah, takut,
binggung, tidak menentu, dan sebagainya.
(5)
Menjelaskan bahwa klien bebas memilih
satu diantara beberapa konselor yang ada di sekolah itu.
(6)
Menjelaskan bahwa klein bebas memilih
untuk tetap berada di tempat itu bersama konselor atau pergi meninggalkan
konselor.
2.2.2
Pengenalan data
tentang diri klien
Tugas konselor dalam wawancara awal dan
tahap-tahap konseling selanjutya akan diperlancar jika konselor mengetahui
latar belakang kehidupan klien secara lebih dalam. Jika klien telah pernah
konsultasi maka diperlukan data latar belakang klien dari interaksi-interaksi
yang pernah dilakukan itu. Informasi, kemajuan-kemajuan yang telah dicapai,
catatan-catatan formal, dan kesan-kesan informal yang ada, serta
rekaman-rekaman lainnya tentang diri klien.
Jika klien belum pernah mendapat konseling maka
informasi dan data yang diperlukan oleh konselor tergantung atas
prtimbangan-pertimbangan berikut ini:
(a)
Selera konselor
Ada
konselor yang lebih suka memperoleh informasi dan data tentang latar belakang
klien sebelum pertemuan pertama agar dapat memahami diri klien secara mendalam
sehingga dapat menghemat waktu, dan lebih terarahnya wawancara yang akan
dilakukannya. Sebaliknya ada pula konselor yang suka mendapatkan informasi
tentang latar belakang klien secara langsung sambil berwawancara dengan klien.
Di samping itu ada juga konselor yang lebih suka informasi melalui suatu
wawancara yang berstruktur yang diselenggarakan sebagai suatu cara memulai hubungan konseling.
(b)
Kadar usaha pemberian bantuan
Bagi
pemberi bantuan yang lama, mendalam, dan penuh liku-liku, dan pembahasan
tentang suasana dan perkembangan kejiwaan akan lebih memerlukan lebih banyak
informasi tentang latar belakang klien daripada untuk suatu usaha pemberian
nasehat.
(c)
Hakekat dan kadar masalah
Jika masalah klien menyangkut perubahan yang besar dari kepribadiannya, maka informasi yang mendalam tentang latar belakang klien sangat diperlukan. Tetapi jika masalahnya hanya sekedar keterampilan membuat surat lamaran pekerjaan atau keterampilan berbicara di depan umum maka informasi yang mendalam tentang latar belakang klien tidak di perlukan.
Jika masalah klien menyangkut perubahan yang besar dari kepribadiannya, maka informasi yang mendalam tentang latar belakang klien sangat diperlukan. Tetapi jika masalahnya hanya sekedar keterampilan membuat surat lamaran pekerjaan atau keterampilan berbicara di depan umum maka informasi yang mendalam tentang latar belakang klien tidak di perlukan.
(d)
Tujuan konseling
Jika tujuan konseling adalah untuk membantu klien agar ia bebas dari pola-pola tingkah laku emosional yang telah berurat-berakar sejak masa kanak-kanak, maka untuk itu diperlukan informasi tentang kehidupan klien sejak kecil, pola kehidupan keluarganya, dan pola asuh dalam keluarga itu. Sebaliknya jika tujuan konseling itu hanya sekedar ingin memperoleh keterangan tentang syarat-syarat masuk suatu jurusan di suatu perguruan tinggi atau suatu pekerjaan, maka informasi tentang latar belakang klien yang tidak diperlukan.
Jika tujuan konseling adalah untuk membantu klien agar ia bebas dari pola-pola tingkah laku emosional yang telah berurat-berakar sejak masa kanak-kanak, maka untuk itu diperlukan informasi tentang kehidupan klien sejak kecil, pola kehidupan keluarganya, dan pola asuh dalam keluarga itu. Sebaliknya jika tujuan konseling itu hanya sekedar ingin memperoleh keterangan tentang syarat-syarat masuk suatu jurusan di suatu perguruan tinggi atau suatu pekerjaan, maka informasi tentang latar belakang klien yang tidak diperlukan.
(e)
Ketepatgunaan Informasi
Informasi tentang berbagai jenis lapangn pekerjaan akan lebih tepat dan berguna untuk konseling jabatan, tetapi mungkin kurang cocok untuk konseling perkawinan. Informasi tentang bakat dan minat seseorang akan cocok untuk konseling pemilihan jurusan, tetapi kurang cocok untuk keperluan konseling masalah social antara muda-mudi.
Informasi tentang berbagai jenis lapangn pekerjaan akan lebih tepat dan berguna untuk konseling jabatan, tetapi mungkin kurang cocok untuk konseling perkawinan. Informasi tentang bakat dan minat seseorang akan cocok untuk konseling pemilihan jurusan, tetapi kurang cocok untuk keperluan konseling masalah social antara muda-mudi.
(f)
Ketersedian informasi
Informasi tentang latar belakang klien tidak selalu tersedia dan kalaupun tersedia tidak selalu dapat dengan mudah diberikan pada orang atau lembaga lain yang memerlukan. Informasi tentang diri klien yang berasal dari suatu lembaga pendidikan seperti SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi umumnya tersedia berubapa daftar pribadi, otobiografi, dan catatan lainnya akan mudah diperoleh dan digunakan oleh konselor dari lembaga pendidikan yang bersangkutan. Sebalikny jika konselor dari luar sekolah seperti biro konsultasi perkawinan umumnya akan menempuh prosedur yang agak susah jika ingin memperoleh data dari sekolah dimana kliennya berada.
Informasi tentang latar belakang klien tidak selalu tersedia dan kalaupun tersedia tidak selalu dapat dengan mudah diberikan pada orang atau lembaga lain yang memerlukan. Informasi tentang diri klien yang berasal dari suatu lembaga pendidikan seperti SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi umumnya tersedia berubapa daftar pribadi, otobiografi, dan catatan lainnya akan mudah diperoleh dan digunakan oleh konselor dari lembaga pendidikan yang bersangkutan. Sebalikny jika konselor dari luar sekolah seperti biro konsultasi perkawinan umumnya akan menempuh prosedur yang agak susah jika ingin memperoleh data dari sekolah dimana kliennya berada.
2.2.3 Menkaji Tujuan Konseling
Kajian
tentang tujuan konseling ini ditekankan pada tujuan yang ingin dicapai oleh
tahap awal dari interaksi yang sifatnya
membantu. Tujuan konseling pada tahap awal ini adalah membuat klien aktif dalam
mengeksplorasi pengalaman-pengalaman sehubungan dengan masalah yang
dihadapinya. Untuk mencapai tujuan ini konselor harus menyiapkan klien dengan
berbagai cara seperti memikat klien, member informasi tentang hakikat pelayanan
konseling, dan mendorong klien untuk memanfaatkan bantuan konseling tersebut.
2.2.4
Membuat Diri
konselor Sendiri relaks
Konselor
Hendaknya Membuat Dirinya Sendiri merasa relaks, yaitu rileks pikirannya dan
badannya untuk menghadapi konseling yang akan segera dilaksanakan. Untuk
membuat rileks pikirannya, konselor dapat mencapainya dengan memikirkan hal-hal
yang menyenangkan dan pengalaman-pengalaman yang serba mulus, lancar dan
menggembirakan. Untuk membuat badan klien relaks dapat dicapai dengan
mengendorkan otot-ototnya satu persatu. Dan masih banyak lagi usha yang dapat
dilakukan untuk membuat pikiran badan konselor relaks.
Kesediaan klien “INVOLVE” dalam proses
konseling akan tergantung pada seberapa baik konselor menyiapkan kliennya.
Menurut Carkhuff (1983) ada tiga cara atau prosedur untuk menyiapkan klien
yaitu:
(a)
Memikat klien,
(b)
Member informasi tentang etika konseling
dan konselor yang dapat diplih, dan
(c)
Mendorong klien untuk mengambil
konseling dengan serius.
Tidak
involve klien secara penuh dalam proses konseling itu oleh egan tahun 1982
dinamakan “reluctan” dan “resistant”.
“Reluctant “ adalah keadaan atu sikap klien yang enggan datang kekonseling
sebab kedatangannya itu bukan atas kemauannya sendiri. Klien yang “resistant”
dating ke konseling secara setengah hati. Semua klien “reluctant” dan sekarang
sudah dapat mengatasi “reluctant”nya belum berhasil sepenuhnya. Yang masih
setengah hati. Menurut egan 1982 sebab dari “reluctan” dan “resistant” itu ada
18 macam. Beberapa diantaranya:
(a)
Klien tidak mengerti kenapa harus pergi
untuk konseling untuk pertamakalinya
(b)
Klien yang dikirim oleh guru, orangtua,
atau lembaga lain
(c)
Klien yang takut karena belum tahu
tentang hakikat konseling
(d)
Klien yang tidak tahu bagaimana
berpartisipasi secara efektif dalam konseling
(e)
Klien yang tidak suka pada konselor
Melihat
sebab-sebab klien kurang “involve” seperti tersebut di atas maka konselor harus
menyiapkan klien dengan baik agar ia merasa aman diterima dan dihargai sehinnga
terciptalah hubungan baik (repport). Untuk itu perlu usaha-usaha sebagai
berikut:
Menurut
carkhuff (1983) memikat klien berarti menyebut klien secara formal dan berusaha
mewujudkan kerangka acuan mengenai tujuan hubungan konseling. Egan (1983)
menyatakan bahwa penyambutan klien dalam rangka membangun “repport” itu dapat
diwujudkan dengan sikap empati, sebab dengan sikap empati ini akan dapat
mengembangkan keterbukaan dan kepercayaan pada diri klien sehinggan hanya mampu
mengeksplorasi dirinya sendiri dan masalah-masalahnya. Sedangkan tyler 1961
menyarankan agar konsselor tetap bersikap “acceptance”. Sikap ini hendaknya
dikomunikasikan pada klien lebih dahulu, yaitu sikap manusia, ramahtamah,
ketepatan waktu, bersahabat, dsb. Sikap-sikap koonselor itu akan menimbulkan
keterbukaan klien.
Dengan demikian prosedur atau cara memikat
klien agar mau berpartisipasi akrib dalam konseling dapat meliputi berbagai
usaha untuk menyambut klien secara formal tetapi masih bersifat hangat, dan
berbagai usaha untuk mewujudkan kerangka acuan mengenai tujuan hubungan
konseling.
(1)
Menyambut klien secara formal dan
hangat, dapat terdiri dari:
(a)
Mengucapkan salam
(b)
Berjabat tangan
(c)
Mempersilahkan duduk
(d)
Menyebut nama klien (kalo sudah kenal
namanya) atau menanyakan nama klien (kalo belum kenal sebelumnya),
(e)
Memperkenalkan nama konselor
(f)
Membicarakan hal-hal yang menarik yang
sempat ditangkap dari pertemuan yang singkat itu.
(2)
Mewujudkan kerangka acuan mengenai
tujuan konseling, dapat dilakukan dengan:
(a)
Mengemukakan tujuan klien dating pada
konselor, misalnya: baiklah, saya kira anda dating kemari karena ada suatu
masalah yang mengganggu anda.
(b)
Kalau dengan kata-kata konselor tersebut
klien belum juga mau terbuka, maka konselor dapat menambahkan penjelasan lebih
lanjut.
Mungkin
saja klien masih ragu-ragu untuk mengemukakan masalahnya. Berbagai perasaan
was-was berkecamuk dalam dirinya, ia merasa takut kalau rahasianya diketahui
orang lain. Dalam keadaan seperti ini konselor hendaknya member
informasi-informasi yang diperkirakan dapat menghilangkan keragu-raguan klien itu.
Informasi-informasi antara lain diuraikan di bawah ini:
(1) Etika
konseling; mungkin keragu-raguan klien itu disebabkan karena klien belum
memahami kode etik konseling. Untuk itu konselor hendaknya dapat mengemukakan
dan meyakinkan kode etik ini pada klien.
(2) Konselor
yang dapat dipilih; untuk lebih
meyakinkan klien bahwa konseling itu menjamin kebebasan klien dapat mewujudkan
melalui adanya kesempatan klien untuk memilih konselor mana yang klien sukai
untuk berkonsultasi. Konselor dapat mengemukakan maksud tersebut.
Agar
klien mau “involve” dalam proses konseling dapat pula dilakukan dengan
memotivasi klien dengan cara member penjelasan tentang alsan-alasan mengapa ia
harus aktif berpartisipasi dalam proses konseling. Dalam hal ini konselor dapat
berkata dengan berbagai cara, misalnya:
(1)
“Jika anda aktif dalam proses konseling
ini anda akan dapat menemukan sendiri jalan keluar dari masalah yang anda
hadapi saat ini dalam waktu yang tidak terlalu lama.”
(2)
“Konseling ini akan memerlukan sekitar 3
kali pertemuan yang tiap pertemuannya yang memerlukan waktu sekitar 30 menit.
Jikan anda aktif dalam mengungkapkan latarbelakang masalah anda dan aktif dalam
memikirkan jalan keluar dari masalah tersebut mungkin masalah anda akan
teratasi, tetapi kalu anda pasif dan tertutup mungkin akan memerlukan waktu
akan lebih banyak lagi.
Prosedur
ini dapat pula dinamakan “kontrak” atau kesepakatan dalam mengambil konseling
sesuai dengan prosedur tertentu yang telah disepakati bersama oleh klien dan
konselor. Kontrak ini pula yang memungkinkan klien “involve” secara penuh.
Carkhuff (1983) menyatakan bahwa melayani
secara pribadi memungkinkan klien dapat merasa dekat dengan konselor, sehingga
konselor dapat mengkomunikasikan minat dan perhatiannya pada klien.
Mengkomunikasikan minat kepada klien akan memungkinkan konselor memperoleh
respon minat dari klien secara timbale balik. Menurut Carkhuff
melayani secara pribadi adalah usaha konselor untuk menempatkan diri
sedimikian rupa sehingga dapat member perhatian secara penuh dan tak terbagi
pada klien. Karena itu melayani secara pribadi menekankan pentingnya konselor
menghadapi klien secara penuh dengan (a) menghadap secara tepat pada klien, (b)
condong kedepan yaitu pada klien, dan (c) mengadakan kontak mata dengan klien.
Salah
satu sikap konselor dalam menghadapi klien adalah menghadapinya secara penuh.
Apakah konselor berdiri dan duduk, konselor harus menghadap pada klien secara
tepat, yaitu bahu kiri konselor lurus dengan bahu kanan klien, dan bahu kanan
konselor lurus dengan bahu kiri klien. Jika konselor menghadapi pasangan
suami-istri atau kelompok kecil, konselor hendaknya menempatkan diri pada titik
sudut dimana jaraknya sama antara orang yang ada di sisi kiri dan sisi kanan.
Cara
konselor menghadapi klien secara pribadi yang ke dua adalah menyodorkan badan
ke depan. Misalnya jika konselor duduk, maka konselor harus menyodorkan
badannya kedepan kearah klien yang sedang duduk atau yang sedang dihadapi oleh
konselor.
Konselor
dapat berkomunikasi secara penuh perhatian jika ia memelihara “ kontak mata”
dengan klien yang dihadapinya. Melalui usaha konselor melakukan “kontak
mata” itu, klien akan sadar bahwa ia
sedang diperhatikan secara psikologi. Tentu saja tidak sepanjang proses
konseling konselor harus “menatap mata” klien, sebab cara memandang yang terus-
menerus seperti itu dapat mendatangkan pengaruh yang sebaliknya, yaitu bukan
keakraban yang dapat diperoleh tetapi sebaliknya klien menjadi bosan, jengkel
ataupun penolakan . “tatapan mata” itu seperlunya saja, yaitu yaitu pada
saat-saat penting, saat kita ingin meyakinkan klien, sang konselor ingin
mengetahui pendapatnya, dan sebagainya. Bahkan memang ada saatnya klien diberi
kesempatan untuk melemparkan pandangannya secara bebas keluar lewat jendela,
atau kegambar-gambar yang ada didinding agar klien bebas berpikir dan bebas
melepaskan ketegangannya.
Dengan
demikian melayani klien secara pribadi yang baik adalah jika konselor menghadap
ke klien secara tepat, kontak mata, dan condong kedepan sekitar 20 derajat.
Jika konselor hanya mendemonstrasikan dua dari tiga indikator kemampuan
melayani klien secara pribadi itu maka kualitas melayani klien secara
pribadinya tergolong cukup. Tetapi jika ke tiga indikator itu tidak ada maka
kualitas melayani klien secara pribadi masih kurang atau rendah.
Keterampilan yang paling penting yang
dihasilkan atau yang diperlakukan oleh “attending” secara pribadi adalah
keterampilan mengobservasi. Mengobservasi adalah keterampilan membantu yang
paling dasar. Observasi adalah sumber dari belajar konselor tentang klien.
Konselor belajar sesuatu tentang orang atau klien melalui observasi
terhadapnya.
Munro, dkk. (1979) menyatakan bahwa sejak
pertemuan pertama antara konselor dank lien, masing-masing memulai proses
pengamatan dan bertanya dalam diri. Misalnya konselor melihat klien tampak
kurus dan pucat,kemudian ia bertanya dalam diri “apakah dia sakit”. Sebaliknya
klien juga mengamati keadaan konselor, misalnya ia melihat konselor
berperawakan tinggi besar seperti ayahnya dan tampak menakutkan. Kemudian ia
bertanya dalam hati lagi “dapatkah saya mempercayai konselor ini? “ Carkhuff
(1983) mengemukakan mengobservasi postur, perutarba dan wajah klien untuk
meyakinkan kebenaran pernyataan klien. Jika klien mengatakan keadaannya
baik-baik saja, padahal ia berdiri dengan lunglai, melihat kelantai dan
gelisah, maka konselor dapat menarik kesimpulan bahwa pernyataan klien itu
tidak benar. Munro, dkk.(1979)
selanjutnya menyarankan hal-hal yang mungkin diamati dan ditanyakan oleh
konselor yang meliputi : penampilan jasmaniah, gaya dan sikap, gerakan dan
isyarat-isyarat, sikap badan, suasana lingkungan, perbedaan dalam status
social, jarak duduk antara konselor dan klien, serta kontak mata. Hal-hal yang
diamati dan pernyataan-pernyataannya dapat dilihat pada uraian dibawah ini.
a.
Penampilan Jasmani Klien
Apakah
keadaan jasmani klien menimbulkan masalah baginya? Apakah keadaan jasmani klien
merupakan petunjuk tangan kesehatannya? Apakah kerapian pakaiannya
menggambarkan keadaan kesehatan pribadinya?
b.
Gaya dan Sikap
Apakah klien gugup rendah diri? Menyerang? Mempertahankan diri? Tidak bersemangat?
Apakah klien gugup rendah diri? Menyerang? Mempertahankan diri? Tidak bersemangat?
c.
Gerakan dan Isyarat-isyarat
Apakah klien tampak diam saja atau
banyak gerak? Apakah yang ia lakukan dengan tangannya? Dengan kepalanya? Dengan
kakinya? Apakah kira-kira maksud dari gerakan-gerakan atau isyarat-isyarat yang
dilakukan itu?
d.
Sikap Badan
Apakah ia duduk tegap? Membungkuk?
Berdiri bebas? Bersandar pada meja atau kursi? Apakah m,aksudnya semua itu?
e.
Perbedaan dalam Status Sosial
Apakah pakaian klien menunjukan kemiskinannya? Kekayaannya? Status social? Atau keadaan jiwa tertentu?
Apakah pakaian klien menunjukan kemiskinannya? Kekayaannya? Status social? Atau keadaan jiwa tertentu?
f.
Jarak Duduk antara Konselor dan Klien
Apakah klien duduk terlslu dekat dengan konselor sehingga klien menjadi takut karena jarak yang dekat itu? Apakah konselor dank lien duduk dalam jarak yang terlalu jauh sehingga hubungan kurang akrab?
Apakah klien duduk terlslu dekat dengan konselor sehingga klien menjadi takut karena jarak yang dekat itu? Apakah konselor dank lien duduk dalam jarak yang terlalu jauh sehingga hubungan kurang akrab?
g.
Kontak mata
Apakah klien mampu melihat penyuluh dengan tatapan mata, ataukah menghindar dari tatapan mata konselor?
Apakah klien mampu melihat penyuluh dengan tatapan mata, ataukah menghindar dari tatapan mata konselor?
Carkhuff
(1983) menyatakan bahwa yang hendaknya diobservasikan konselor adalah dimensi
fisik klien, dimensi emosional klien, dan dimensi intelektual klien.
a.
Mengobservasi dimensi fisik klien
Dengan mengobservasikan dimensi fisik klien, konselor dapat mempelajari level energy klien. Level energy klien itu perlu atau penting diketahui karena level energy adalah jumlah usaha fisik yang dikerahkan untuk mencapai tujuan. Orang yang memiliki level energy yang tinggi dapat mengalami kesempurnaan hidup. Orang yang memiliki level energy yang rendah mempunyai kesulitan yang besar dalam memenuhi tuntutan kehidupan sehari-hari, sewkalipun tuntutan kehidupan itu sangat sederhana.
Kita dapat mengobservasikan level energy dalam tiga bidang utama, yaitu bentuk tubuh, postur, dan kerapihan. Misalnya, klien yang secara cenderung memiliki level energy yang rendah. Klien yang postur tubuhnya kelihatan loyo mengisyaratkan level energy yang rendah. Begitu juga halnya klien yang dating ke konselor dengan pakaian kotor dan tidak tampak necesa dengan rambut yang tidak terurus biasanya menunjukan bahwa klien tidak memiliki energy yang cukup untuk merawat dirinya sendiri.
Dengan mengobservasikan dimensi fisik klien, konselor dapat mempelajari level energy klien. Level energy klien itu perlu atau penting diketahui karena level energy adalah jumlah usaha fisik yang dikerahkan untuk mencapai tujuan. Orang yang memiliki level energy yang tinggi dapat mengalami kesempurnaan hidup. Orang yang memiliki level energy yang rendah mempunyai kesulitan yang besar dalam memenuhi tuntutan kehidupan sehari-hari, sewkalipun tuntutan kehidupan itu sangat sederhana.
Kita dapat mengobservasikan level energy dalam tiga bidang utama, yaitu bentuk tubuh, postur, dan kerapihan. Misalnya, klien yang secara cenderung memiliki level energy yang rendah. Klien yang postur tubuhnya kelihatan loyo mengisyaratkan level energy yang rendah. Begitu juga halnya klien yang dating ke konselor dengan pakaian kotor dan tidak tampak necesa dengan rambut yang tidak terurus biasanya menunjukan bahwa klien tidak memiliki energy yang cukup untuk merawat dirinya sendiri.
b.
Mengobservasikan dimensi emosional
Jika konselor ingin mengetahui perasaan klien, maka konselor harus mengobservasinya melalui perasaannya. Level emosional akan mempunyai perasaa “up” (mampu, positif, sehat) untuk menangani secara efektif tugas-tugas yang dihadapinya. Level emosional yang rendah berarti “perasaan turun” (negative, sedih, susah) dan unjuk kerja yang kurang terhadap tugas-tugas yang ada.
Konselor dapat mengobservasi level emosional dalam tiga bidang, yaitu:
Jika konselor ingin mengetahui perasaan klien, maka konselor harus mengobservasinya melalui perasaannya. Level emosional akan mempunyai perasaa “up” (mampu, positif, sehat) untuk menangani secara efektif tugas-tugas yang dihadapinya. Level emosional yang rendah berarti “perasaan turun” (negative, sedih, susah) dan unjuk kerja yang kurang terhadap tugas-tugas yang ada.
Konselor dapat mengobservasi level emosional dalam tiga bidang, yaitu:
1.
Postur tubuh
Jika bahu dan kepala meliuk kebawah dapat menunjukan perasaan putus asa, jika otot-otot kelihatan kaku dan tegang dapat merupakan indikasi dari adanya ketegangan perasaan. Jadi dari postur tubuh dapat menjadi petunjuk apakah klien dalam keadaan depresi, ketegangan-ketegangan, atau dalam keadaan emosi yang sehat dan gembira
Jika bahu dan kepala meliuk kebawah dapat menunjukan perasaan putus asa, jika otot-otot kelihatan kaku dan tegang dapat merupakan indikasi dari adanya ketegangan perasaan. Jadi dari postur tubuh dapat menjadi petunjuk apakah klien dalam keadaan depresi, ketegangan-ketegangan, atau dalam keadaan emosi yang sehat dan gembira
2.
Tingkah laku (behavior)
Tingkah laku merefleksikan indicator yang serupa dengan postur tubuh. Gerakan-gerakan yang lamban menunjukkan perasaan putus asa. Dan gerakan-gerakan yang tergesa-gesa disertai dengan gemetaran menunjukkan tegang.
Tingkah laku merefleksikan indicator yang serupa dengan postur tubuh. Gerakan-gerakan yang lamban menunjukkan perasaan putus asa. Dan gerakan-gerakan yang tergesa-gesa disertai dengan gemetaran menunjukkan tegang.
3.
Ekspresi wajah
Dari ekspresi wajah dapat dibaca apakah klien gembira, takut, marah, sedih, bosan, tertarik, dan sebagainya.
Dari ekspresi wajah dapat dibaca apakah klien gembira, takut, marah, sedih, bosan, tertarik, dan sebagainya.
c.
Mengobservasikan dimensi intelek
Tingkat kesiapan intelek klien menunjukkan siapnya klien untuk memuaskan diri pada tugas-tugas mereka. Level intelektual yang tinggi menunjukkan klien siap melakukan tugas, sedangkan sebaliknya tidak. Seperti halnya dalam mengobservasi dimensi emosional, konselor dapat mengobservasi level intelektual melalui tiga bidang, yaitu
Tingkat kesiapan intelek klien menunjukkan siapnya klien untuk memuaskan diri pada tugas-tugas mereka. Level intelektual yang tinggi menunjukkan klien siap melakukan tugas, sedangkan sebaliknya tidak. Seperti halnya dalam mengobservasi dimensi emosional, konselor dapat mengobservasi level intelektual melalui tiga bidang, yaitu
·
Postur tubuh
Postur tubuh yang loyo dapat menunjukkan kurangnya persiapan klien untuk konseling dan proses belajar yang bakal terjadi selama proses konseling.
Postur tubuh yang loyo dapat menunjukkan kurangnya persiapan klien untuk konseling dan proses belajar yang bakal terjadi selama proses konseling.
·
Tingkah laku
Tingkah laku yang tidak bertujuan dapat menunjukkan tanda menghindari belajar yang akan terjadi dalam proses konseling
Tingkah laku yang tidak bertujuan dapat menunjukkan tanda menghindari belajar yang akan terjadi dalam proses konseling
·
Ekspresi wajah
Ekspresi wajah dpat menunjukkan level pemuasan minat pada pengalaman konseling yang sedang dihadapi. Wajah yang kelihatan pucat dapat menunjukkan takut, wajah yang bimbang menunjukkan klien belum siap melakukan tugas yang akan dihadapi atau keputusan yang akan dilaksanakan.
Ekspresi wajah dpat menunjukkan level pemuasan minat pada pengalaman konseling yang sedang dihadapi. Wajah yang kelihatan pucat dapat menunjukkan takut, wajah yang bimbang menunjukkan klien belum siap melakukan tugas yang akan dihadapi atau keputusan yang akan dilaksanakan.
Dari
ketiga bidang yang dapat menggambarkan dimensi intelek klien itu konselor dapat
membaca apakah klien konsisten dengan ucapannya atau tidak. Jika wajah klien
menunduk ke bawah, badannya loyo, dan wajahnya murung, tetapi ia mengatakan
“baik-baik saja”, maka konselor antara seperti itu perasaannya sedang kalut.
Karena itu konselor jangan cepat percaya dengan ucapan klien. Observasilah
dimensi level intelektualnya untuk menyakinkan benar tidaknya ucapan klien itu.
Mengobservasi
diri konselor sendiri juga merupakan cara pula untuk mengetahui keadaan diri
klien. Hanya konselor perlu hati-hati, sebab sering pengalaman konselor satu dengan
lainnya berbeda walaupun gejala yang Nampak sama atau hamper sama. Untuk itu
perlu dicek kebenarannya melalui cara lain, misalnya dengan mendengarkan
informasi lisan dari klien sendiri.
Ekspresi verbal adalah sumber input yang
paling sering digunakan dalam roses konseling. Apa-apa yang dikatakan dan
bagaimana mengatakannya adalah merupakan tentang cara klien melihat dirinya
sendiri dan dunia sekitarnya.
Jika konselor memperhatikan klien secara
penuh dan tak terbagi, maka konselor akan siap untuk mendengarkan ekspresi
verbal klien. Semakin konselor memperhatikan tanda-tanda seksternal yang
dikemukakan oleh klien, konselor semakin dapat mendengarkan kunci-kunci
internal yang mengembangkan ekspresi dari dalam. Menurut Carkhuff (1983) ada 4
cara untuk mengembangkan keterampilan mendengarkan, yaitu:
Sebagaimana pendengar yang baik,
konselor hendaknya tahu mengapa ia mendengarkan, konselor harus mempunyai
alasan mengapa ia mendengarkan. Tujuannya adalah mengumpulkan informasi yang
ada hubungannya dengan masalah yang klien hadapi dan tujuan yang dikemukakan
oleh klien.
Sebagaimana
mengobservasi, konselor hendaknya mendengarkan pada isyarat-isyarat tingkat
jasmani, emosi, dan intelektual klien. Untuk itu konselor harus memuaskan pada
kata-kata, nada suara, dan cara mengatakannya. Kata-kata klien merupakan isi
intelektual yang dikemukakan klien berdasarkan pengalamannya. Nada suara
merupakan tanda keadaan perasaan klien. Cara penyampaian atau mengucapkan
kata-kata merupakan tanda level energi klien. Misalnya, isi pembicaraan
diekspresikan dalam tekanan suara yang rendah dan tidak bergairah merupakan
tanda klien yang sedang mengalami depresi dengan level energi yang rendah
Konselor harus tidak terburu-buru
menilai apa yang dikatakan klien. Setidak-tidaknya di awal-awal konseling.
Konselor hendaknya memberikan kesempatan klien mengemukakan isi hatinya tanpa
ia mencoba membuat keputusan atau penilaian tentang yang dikemukakan klien itu.
Menunda penilaian berarti menunda
nilai-nilai dan sikap konselor sehubungan dengan isi pengalaman klien yang baru
dikemukakan itu. Misalnya, konselor tidak cepat-cepat menyetujui tingkah laku
klien atau cara hidup klien. Diakui bahwa perasaan konselor tidak sama dengan
perasaan klien , tetapi tujuan konselor adalah untuk menfasilitas pertumbuhan
klien dan perkembangan klien seoptimal mungkin.
Konselor
hendaknya dapat memusatkan perhatiannya pada klien dengan menyingkirkan
penggunaan dari luar. Banyak hal yang terjadi di luar yang tidak membantu
konselor dalam mendengarkan. Jadi, yang penting dalam mendengarkan adalah
memusatkan perhatian pada klien.
Dalam memusatkan pada isisitu, konselor
ingin mendapat kepastian yang rinci tentang pengalaman klien. Konselor
memusatkan perhatian pada isi, menurut Carkhuff (1983) berarti yang harus
diperhatikan konselor meliputi: siapa? Apa? Mengapa? Kapan? Dimana? Bagaimana?
Dengan memusatkan pasa jawaban pertanyaan-pertanyaan itu konselor dapat yakin
bahwa ia telah memperoleh pengetahuan tentang isi pengalaman klien.
Pemusatkan
ini dilakukan agar konselor dapat mengingat isi dan perasaan yang di
ekspresikan klien. Dengan pemusatan ini konselor yang menangkap ekspresi
singkat klien dapat mengingat keseluruhan ekspresi klien yang dikemukakan
dengan kata-kata. Dengan ekspresi kata-kata yang panjang, konselor diharapkan
dapat mengingat intisari dari ekspresi itu.
Konselor harus belajar mengingat ekspresi klien
dalam periode waktu yang agak lama. Yang konselor harus temukan untuk dapat
mengingat ekspresi klien itu adalah tema umum dari pengalaman klien. Tema
penting dari pengalaman klien itu akan diulang-ulang terus. Biasanya klien akan
menginvestasikan yang paling hebat dalam tema itu karena klien sedang mencoba
mengkomunikasikan hal-hal yang paling hebat itu kepada konselor.
Tema ini kan mengatakan kepada konselor tentang apa
yang klien benar-benar coba dikatakan tentang dirinya sendiri atau dunianya.hal
ini dapat terjadi kalau konselor memberikan kesempatan . konselor hanya
menerimanya saja pesan-pesan yang klien kemukakan dan kemudian konselor
mengolahnya menjadi tema-tema umum untuk persiapan konselor merespon klien.
Jadi, mendengarkan untuk memperoleh tema umum dapat dilakukan melalui perkataan
atau hal yang selalu diulang-ulang oleh klien, dan hal-hal yang menjadi
intensitas klien.
Cara mengembangkan tata formasi dan
iklim hubungan konseling awal diantaranya:
1.
Menyiapkan konteks, yaitu tempat
berlangsungnya konseling
2.
Menyiapkan diri konselor sendiri untuk
siap memberi konseling
3.
Menyiapkan klien untuk siap melakukan hubungan
konseling dengan:
a. Memikat
klien dengan menyebut klien secara formal, dan mewujudkan keranngka acuan
mengenai tujuan hubungan konseling.
b. Meberikan
informasi tentang etika konseling dan konselor yang dapat dipilih.
c. Mendorong
klien untuk mengambil konseling (kontrak)
4.
Melayani klien secara pribadi.
5.
Mendengarkan klien.
6.
Mengobservasikan dan mendengarkan secara
akurat
1.
Bagi konselor hendaknya memperhatikan
pengembangan tata formasi dan iklim hubungan konseling awal.
2.
Bagi klien hendaknya mempersipakn diri
sebelum melakukan proses konseling.
Abimanyu, Soli dan Thayeb Manrihu. 1996.
Tehnik dan Labolatorium Konseling. Depdikbud:
Jakarta.
Dewa, Anggara. 2011. Mengembangkan Tehnik dan Tata Formasi
Konseling Awal. Www.konseling_diskusi.co.id:
Diakses pada 7 Oktober 2015.
0 Response to "Pengembangan Tata Formasi dan Iklim Hubungan Konseling Awal"
Posting Komentar